pe-lamar-an

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al Ahzab:59)

Waktu itu saya sedang duduk santai disebelah teman yang sedang membaca majalah. Tak lama sampailah ia pada rubric ‘tokoh’. Kebetulan waktu itu tokohnya mbak Anna yang ada di KCB. Isi rubrik adalah tanya jawab pihak majalah dengan sang tokoh yang kini tercatat aktif sebagai duta internet. Ah paling
gitu-gitu aja yang dibahas, malas saya menanggapi teman ku yang mulai menyenggol-nyenggol menyuruhku ikut membaca rubric itu. Melirik sekilas, ternyata saya dapati satu pertanyaan yang sepertinya seru untuk diikuti.

“apa hal yang paling berkesan yang pernah dialami mbak Oki selama mengenakan kerudung?”
Tubuhku mulai condong kearah teman ku, memberinya isyarat menggeser majalah agar luas pandangku cukup leluasa untuk membaca. Intinya si mbak Anna merasa bersyukur telah berjilbab karena banyak hal positif terbukti terjadi padanya. Misalnya saja ketika dia tour promosi film ke luar negeri, dimana Muslim adalah masyarakat minoritas. Ketika dijalan dia berpapasan dengan seorang muslimah dan saling tersenyum memberi salam, dia merasa ‘tidak sendiri’, bahwa ada saudaranya dinegeri itu. Si muslimah yang ditemuinya dijalan tidak mungkin sembarang tersenyum pada orang. Dia mengenali mbak Anna sebagai muslimah karena tanda pengenalnya (jilbab-red).
Ada lagi hikmah lain ketika dia masuk ke sebuah restoran (masih latar belakang luar negeri), seorang bapak dengan sopan memberitahunya bahwa beberapa menu direstoran tersebut tidak halal. Dan sekali lagi, si bapak mengenali mbak Anna sebagai muslimah lewat jilbabnya. Dengan demikian mbak Anna terhindar memakan makanan yang tidak halal, yang tidak akan diketahuinya jika tidak diberitahu sang bapak.

Well, saya belum pernah keluar negeri (someday I wiLL amiennnn). Tapi saya juga bisa dapat cerita dari yang 'serupa'.
Waktu itu, tepatnya beberapa waktu lalu, saya sedang mempresentasikan proposal tugas akhir/skripsi. Alhamdulillah presentasi 15 menit itu berjalan lancar. Tiba waktunya sesi tanya jawab dimana para dosen penguji akan melontarkan beberapa pertanyaan dan harus saya jawab dengan baik. Beberapa pertanyaan persis seperti yang telah saya siapkan selama latihan sehingga jawaban pun mengalir lancar. Lama kelamaan pertanyaan semakin detail dan ada sedikit ragu bagi saya untuk menjawabnya. Alhasil suara yang keluar pun tidak selantang jawaban-jawaban sebelumnya. Dosen pembimbing saya protes, saya disuruh menjawab setegas semula. Malahan sang dosen memberi sedikit slentingan “Kalo misal nanti dilamar orang trus cara jawabnya gitu, nanti orang yang ngelamar bingung, sebenarnya jawabannya iya atau tidak”… tentu saja maksud dosenku sekedar guyon. Dan guyonan tersebut berhasil menghasilkan tawa dari semua insan
didalam ruang sidang itu. “Kenapa pula contohnya harus lamaran, kan malu paaak….” batin ku.

Cerita kedua terjadi di kelas ketika kuliah. Waktu itu saya duduk dibaris paling depan pojok dekat meja dosen. Walhasil jadilah saya objek andalan untuk contoh-contoh pendukung (NB dosen saya senang memberi contoh-contoh yang dekat dalam kehidupan sehari-hari untuk mempermudah pemahaman materi yang rumit). Saya lupa sedang membahas apa waktu itu, tiba-tiba saja sang dosen (kembali) mengambil saya sebagai objek percontohan, “iyak, misalnya Mbak Liliek ini dilamar orang, pasti dia punya kriteria-kriteria untuk menerima si pelamar. Orangnya harus lulusan universitas A, bukan universitas B, C, D dan lainnya. Atau kriteria lainnya ”…sekali lagi Kenapa pula contohnya harus lamaran, aku pula objeknya…
Tapi saya punya analisa tersendiri dari cerita kedua. Untuk ukuran kelas yang mayoritas dihuni oleh mahasiswa angkatan baru, contoh lamaran sepertinya kurang cocok diterapkan. Kemungkinan besar kalau objeknya bukan saya, contoh lamaran tersubstitusi dengan contoh pacaran yang sepertinya lebih cocok untuk kalangan anak muda jaman sekarang, menjadi “iyak, misalnya Mbak Li ini ditembak cowok, pasti dia punya kriteria-kriteria untuk menerima si penembak. Orangnya harus anak kuliahan di universitas A, bukan universitas B, C, D dan lainnya. Atau kriteria lainnya ”. Disamping itu, dosen saya ini beragama non Islam, namun sedemikian pahamnya beliau akan konsep “tidak-ada-pacaran-dalam-Islam” sehingga menaruh contoh lamaran ketika objeknya adalah saya. Jadi kesimpulan saya pribadi bahwa contoh lamaran yang diberikan tidak sembarangan karena telah melalui berbagai pertimbangan. Terutama dari jilbab saya yang jelas menjadi tanda pengenal bahwa saya seorang muslimah.
"Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu..."

1 komen:

Yaimuda said...

Saya hadirr. .

Post a Comment

Back to Top